Keringat mulai mengucur membasahi tubuhku, padahal Milan saat ini musim dingin. Tadi pagi aku lihat cuaca hari ini nol derajat Celcius. Aku hiraukan keringat yang menetes dari dagu. Tak ada waktu melepas jaket tebalku. “Ah harusnya gue ngga perlu liburan ke Turki! Seandainya aja ngga salah booking pesawat” sesalku dalam hati.
“Ah supir taksi sialan!” masih membatin aku memaki supir yang telat datang menjemput di hostel pagi ini. Jarak dari hostel ke Bandara Milan Malpensa cukup jauh dibandingkan dari jarak Bandara Linate ke Hostel. Bandara Malpensa pun jauh lebih besar dari Bandara Linate. Entah sudah berapa kilometer aku berlari.
Badanku seketika lemas melihat antrian panjang di depan. Sebelum sampai gate, penumpang harus melewati pemeriksaan imigrasi. Aku berusaha menenangkan diri sambil melepas jaketku dan mengaitkan di pinggang. Kulirik handphone.
“Astaga! Sepuluh menit lagi pesawatku terbang”aku mulai panik! Entah akan seperti apa cerita liburan ke Turki ini nantinya. Aku sudah tidak semangat.
Tiba-tiba perutku mulas melihat antrian di depan tidak juga bergerak. Ah benar kata kakakku orang Italia ini beda dengan orang Eropa pada umumnya. Tadi saat check in pun lama. Tiga orang laki-laki di depanku tampak gusar. Mereka sepertinya bukan bicara bahasa Italia, mungkin orang Turki. Aku memberanikan diri bertanya.
“Hi, you guys also take Pegasus airlines to Istanbul?”
“Yes, we should embark”
Aku mendengar suara panggilan untuk penumpang penerbangan Pegasus menuju Istanbul.
“I never late like this” ucapku lirih, “What shall we do?”
Ketiga laki-laki di depanku kemudian mengajak aku maju dan kami tanpa malu memotong antrian sambil minta maaf karena kami sudah telat.
Untunglah kami tiba di depan gate dan masih diterima masuk di bis. Memasuki pesawat aku hanya bisa menunduk menyembunyikan wajah stres dan malu. Telat di negara orang? Tempat dudukku ternyata ada di tengah. Dengan senyum yang dipaksakan aku permisi ke orang di dekat gang dan langsung duduk.
Pesawat ternyata tidak langsung terbang karena masih harus membersihkan sisa salju semalam. Aku menyibukkan diri membaca Majalah.
“You go to Istanbul?”
Aku menoleh ke laki-laki bule berkacamata di sampingku.
Masih memegang majalah Pegasus aku menjawab tanpa senyum.
“Well, as far as I know, this air plane flies from Milan to Istanbul, so, yes, of course I go to Istanbul”
Aku kembali membolak-balik majalah berbahasa Turki dan Inggris di pangkuanku. Hening. Laki-laki di samping kiriku ini kemudian mengeluarkan ponselnya, memotret awan dari jendela.
Tiba-tiba aku merasa bersalah telah melampiaskan kekesalanku pada orang yang berusaha ramah dengan pertanyaan basa-basinya.
“I am sorry, I am on period” kataku membual, mencari alasan yang paling mudah diterima laki-laki jika perempuan tiba-tiba bertemperamen seperti singa lapar.
Dia menyunggingkan senyum. Manis.
“In my history as a backpacker, I never boarding late. Never! Our driver picked up us late at the hostel. I’m embarrassed myself. Look how people see me” entah kenapa aku menyerocos kepada orang yang baru kukenal.
Tidak ada tanggapan. Dia hanya tersenyum. Aku memilih diam, kembali menatap majalah.
“On vacation?” Tanyanya hati-hati, mungkin takut pertanyaan basa basinya akan kubalas dengan kalimat sarkasme.
“Yes, on vacation” jawabku kali ini sudah bisa tersenyum ramah.
“How about you?” tanyaku
“I’m back from holiday at Brescia” Dia dengan sigap menunjukkan foto-foto liburannya.
“I’m sorry, are you Turkish?” tanyaku
“Yes why say sorry?”
“Is it safe to travel in Istanbul? I watched on TV there were 39 people died at the pub”
“Well, actually it’s safe, I live there. Please stay away from police and army, they are a terrorist target”
Aku menganggukkan kepala.
“So can you recommend me which places I should see?”
“Where do you stay?”
“Sultan Ahmet area” jawabku.
“Do you have paper and ballpoint?”
Aku mengeluarkan buku kecil dan bolpen. Kemudian dia menggambar peta Istanbul dan menjelaskan keterangan singkat tempat-tempat yang dia gambarkan.
“You are talented in drawing and know Istanbul history very well” kataku memuji.
Dia tertawa sangat manis, semanis Macaron Ladure makanan khas Paris.
“Thank you” kataku mengakhiri pembicaraan. Kami kembali hening. Aku memilih tidur sebentar.
Suara pilot membuatku bangun.
“We almost arrive?” tanyaku.
“Yes” jawabnya
“Anyway can I get your phone number?”
Aku mengernyitkan dahi. Kelihatannya dia orang baik. Apa yang bisa aku curigai dari seorang wartawan? Kutulis nomor ponselku di kertas yang dia sodorkan.
“And your name is?” tanyanya.
“Oh we are talking that long without knowing each other name” aku tertawa menyadarinya.
Dia ikut tertawa.
“Dita”
“And yours?”
“Mert”
“Nice to meet you Mert”
” If I have time, after working I will guide you at night, Dita”
Aku tidak tahu apa yang aku lakukan di Turki karena liburan ke Turki ini sebenarnya tidak ada dalam rencana awal.
*Bersambung ke “Hujan Badai di Istanbul”
Cerita Bersambung ini adalah cerita fiksi, jika ada kesamaan nama dan tempat hanya kebetulan.
[…] Baca Juga : Cerita Fiksi “Malaikat Penolong Liburan Di Turki” […]