Akhirnya pesawat mendarat di Istanbul. Keluar dari pesawat, aku melihat antrian panjang di konter imigrasi. Aku sudah tidak melihat Mert sejak kami berpisah di depan pengambilan bagasi. Sambil menunggu antrian, aku mulai mengecek di internet destinasi wisata yang tadi ditulis Mert di buku kecilku. Selesai dari antrian imigrasi, aku mulai bingung mencari Hava Bus yang diinformasikan Mert. Kuberanikan diri bertanya kepada polisi berseragam hitam yang berdiri bersama koleganya.
“Hi, May I know where is Hava Bus?”
Polisi ganteng di depanku melihatku dengan tatapan kosong, kemudian dia bertanya ke teman-temannya.
“You speak english?” tanyaku takjub melihat lelaki berparas Eropa ganteng tetapi tidak mengerti yang aku bicarakan.
“No. Hava Bus? ” tanyanya diikuti deretan kata dalam bahasa Turki yang tidak aku mengerti sama sekali. Kemudian dia menunjukkan jarinya ke satu arah.
“Oh Thank you” jawabku sambil berjalan ke arah keluar. Angin dingin segera menyergapku begitu aku keluar dari pintu bandara. Di seberang kulihat banyak bis berderet rapi.
“This is Hava Bus?” tanyaku kepada laki-laki di dekat bis besar.
Dia hanya mengangguk.
“I want to go to Taksim Square”
Dia hanya menunjukkan tangannya ke bis di deretan paling depan.
“Thanks Sir” sahutku mengakhiri pembicaraan.
Ternyata Turki lebih parah dari Perancis, polisi-polisi Istanbul di bandara internasional pun tidak bisa bicara bahasa Inggris. Setidaknya di bandara Cengkareng masih ada beberapa petugas yang mengerti bahasa Inggris.
“Hava Bus?” tanyaku pada laki-laki tinggi gemuk di depan bis yang parkir paling depan.
“Yes, yes, Taksim” sahutnya.
Tanpa buang waktu aku langsung masuk ke dalam bis besar ini sambil mencari kursi kosong, Semua kursi nyaris penuh kecuali satu kursi yang sudah diisi seorang perempuan muda berkerudung.
“Empty?” tanyaku. Dia mengangguk. Aku duduk diam. Kata Mert di pesawat tadi, bis akan membawaku ke Taksim setelah satu jam perjalanan. Baiklah, lebih baik aku tidur. Aku berusaha memejamkan mata, saat gadis di sebelahku berdehem.
“Excuse me, you also go to Sultan Ahmet?” Aku menoleh ke arahnya. Takjub melihat gadis di sebelahku bisa bicara dalam bahasa Inggris yang lancar.
“Yes, but this bus’s direction is Taksim Square. A Turkish guy I met at plane said this bus stop there”
“Oh, OK”
“We can take tram to Sultan Ahmet, I guess” sahutku menenangkan.
“Yes, I guess so”
“You are tourist too?” tanyaku.
“Yes, I am from Egypt” katanya ramah. Kami pun berkenalan. Pembicaraan dengan Sabina, arkeolog yang juga tour leader ini ternyata sangat menarik, hingga kondektur bis memberitahukan kami sudah tiba di pemberhentian terakhir, Taksim.
Aku segera turun mengikuti orang-orang. Cuaca di luar ternyata lebih buruk daripada tadi saat di Bandara. Istanbul menyambut kedatangan kami dengan hujan rintik-rintik dan angin kencang. Angin dingin yang menusuk ke tulang membuat aku dan Sabina berlarian mencari Taksim Square. Di depanku berjalan cepat turis remaja Asia dengan bodypack besar nampakk kebingungan.
“Do you know where is Taksim Square?” tanyanya kepadaku yang sama kebingungan.
“Well, we also wanna go there, my friend says we have to turn right from the bus stop” jawabku. Dia tersenyum. Betapa tangguhnya backpacker perempuan Asia ini. Dia sama sekali tidak kelihatan menggurutu pada cuaca buruk Istanbul.
Hujan yang semula turun rintik-rintik, menjadi semakin deras diiringi badai angin. Jalanku mulai limbung.
“Sial, seandainya payung di koper aku keluarkan!” gerutuku dalam hati sambil memasang tutup kepala dan menutup jaket. Hanya ada satu pilihan, aku harus menerobos hujan di suhu minus dan mencari tempat emperan toko untuk berteduh. Traveler perempuan Tionghoa yang tadi ada di depanku terlihat sudah jauh di depan.
Sabina berjalan di sampingku berusaha tersenyum, “We arrives at bad weather, Dita!”
Aku mengangguk sambil membenarkan jaketku.
“Look, I guess that’s the tram station, Sabina!” Aku menunjuk ke bangunan di sebelah kiri kami. Kami berdua langsung mempercepat langkah kami.
*Bersambung
Cerita sebelumnya “Malaikat Penolong di Liburan ke Turki”
Cerita ini hanyalah fiksi, jika ada persamaan nama atau tempat hanyalah kebetulan